Ketimpangan Berefek di TikTok: Statistik Pemerintah Dianggap Tidak Sesuai Realitas
- calendar_month Kam, 24 Apr 2025
- visibility 14
- comment 0 komentar

.CO.ID – JAKARTA.
Ketidakseimbangan sosial di Indonesia diyakini semakin berbeda dengan narasi yang disampaikan oleh pemerintah.
Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan ahli dalam bidang kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, menggarisbawahi bahwa media sosial, terutama TikTok, telah berubah menjadi sarana alternatif yang memperlihatkan realitas nyata tentang ketidakseimbangan sosial di Indonesia.
“Video pendek yang memperbandingkan bunyi kipas angin dengan deraih hujan, atau mengubah garasi menjadi tempat parkir dalam rumah, merupakan jenis satiris sosial yang sungguh aktual,” ungkap Achmad, Rabu (23/4).
Phenomenon ini menggambarkan kehidupan orang miskin serta kalangan menengah bawah yang terus bertarung melawan ketidakadilan struktural jangka panjang.
Di sisi lain, BPS melaporkan bahwa data mereka menunjukkan
Gini Ratio
Angka inflasi di Indonesia hingga September 2024 mencapai 0,381, yang menunjukkan peningkatan ringan dibandingkan dengan 0,379 pada Maret 2024. Menurut pihak berwenang, tingkat tersebut masih tergolong “sedang”.
Akan tetapi, cerita ini kontradiktif dengan situasi yang sebenarnya di lapangan.
“Data resmi kerap menggambarkan kesan kestabilan, namun kenyataannya di tengah masyarakat terdapat ketidakpastian yang jauh lebih besar,” ungkap Achmad.
Perbedaan yang mencolok di berbagai wilayah—entah itu antara perkotaan dan pedesaan atau antara sentra dengan bagian luar—muncul dalam hal akses terhadap air bersih, pasokan listrik, sarana transportasi publik, fasilitas pendidikan, serta pelayanan kesehatan.
Meskipun di sebuah kota sekalipun, perbedaannya dapat dengan mudah dilihat secara jelas hanya dalam jarak beberapa kilometer.
Penelitian mandiri secara jelas mengungkap bahwa krisis global akibat COVID-19 semakin membesar kesenjangan, seiring bertambahnya jumlah pengangguran dan peningkatan kelompok berisiko menjadi miskin.
Mengapa Data Resmi Dipandang Sebagai Underestimasi dari Ketidakseimbangan?
Achmad berpendapat bahwa kesenjangan yang ada di Indonesia kerap kali hanya ditampilkan sebagai data statistik saja dikarenakan sejumlah alasannya dari segi metode.
Salah satu halnya, BPS masih kesulitan untuk mengakses seluruh aspek dari kondisi pekerja di sektor tidak formal.
“Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada di sektor tidak resmi seperti penjual kecil, pekerja harian lepas, sampai pengemudi online. Penghasilan mereka cenderung naik turun dan tidak direkam secara formal, membuatnya susah dicakup melalui survei BPS yang rigid,” jelasnya.
Di samping itu, metode garis kemiskinan yang dipakai oleh pemerintah dinilai sudah ketinggalan jaman. Apabila elemen-elemen dari keperluan minimum fundamental tak disesuaikan dengan laju inflasi serta perkembangan gaya hidup pengeluaran masyarakat, maka ambang batas untuk dikatakan miskin akan menjadi terlalu rendah.
Dampak Ketimpangan Pasca-Pandemi
Walaupun pemerintah sudah menyuntikkan stimulus fiskal dan moneter setelah COVID-19, kebanyakan manfaat dari insentif tersebut malah dirasai oleh perusahaan multinasional serta proyek-proyek infrastruktur skala nasional.
Di sisi lain, kelompok menengah— yang tidak termasuk dalam golongan miskin namun belum cukup kaya untuk memperoleh insentif investasi — justru mengalami dampak paling merugikan.
“Banyak orang kehilangan pekerjaannya, upah mereka dikurangi, dan pada akhirnya beralih ke sektor tidak formal. Namun, tidak ada cukup proteksi sosial bagi mereka,” kata Achmad.
Pada waktu yang bersamaan, mereka masih terkena beban pajak serta kontribusi sosial tanpa adanya dorongan keuangan utama. Kondisi tersebut menghasilkan penurunan kemampuan membeli dan meredam kesempatan untuk naik kelas secara finansial.
Ancaman bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Kelas Menengah
Wirausahawan UMKM pun menghadapi tekanan. Walaupun telah terpengaruh oleh pandemi, mereka masih diwajibkan untuk membayar pajak final serta iuran BPJS, tanpa ada penyempurnaan dalam beban fiskalnya.
Achmad menyatakan bahwa pengurangan persentase kelompok berpendapatan sedang dari 21,5% di tahun 2019 hingga 17,1% pada tahun 2024 harus menjadi peringatan serius.
Bila tidak cepat diatasi, kesenjangan tersebut dapat menghasilkan ketidakstabilan sosial dan semakin mendukung kekayaan elit ekonomi.
Penyelesaian: Pajak Harta Benda dan Pengeluaran Pemerintah yang Terfokus
Achmad mendukung perubahan pajak yang lebih adil. Salah satu caranya adalah dengan mengenakan tarif pajak atas harta benda.
wealth tax
) kepada kelompok superkaya.
Di samping itu, kebijakan amnesti pajak harus diakhiri karena menyediakan bonus bagi wajib pajak yang tidak taat.
“Sebaiknya pemerintah mengutamakan pengeluaran yang berdampak produktif, misalnya melalui kegiatan kerja bersama, pelatihan teknis, membangun fasilitas di pedesaan, serta meningkatkan kapabilitas Usaha Mikro Kecil Menengah,” jelas Achmad.
Dia menyatakan bahwa kesenjangan sosial tidak bisa hanya dihadapi dengan optimisme berdasarkan data.
“Narratif resmi perlu didasarkan pada kondisi nyata masyarakat. Platform seperti TikTok serta media sosial saat ini mencerminkan kesungguhan pendapat publik. Bila pemerintahan menginginkan pemeliharaan stabilitas dalam jangka waktu lama, maka keputusan harus lebih adil, informasi seharusnya tidak menyesatkan, dan diarahkan dengan dedikasi untuk melindungi rakyat,” demikian katanya.
- Penulis: andinesia
Saat ini belum ada komentar