Bank Indonesia Utang Untuk Mengurangi Hutang Pemerintah, Kenapa Ya?
- calendar_month Sen, 24 Mar 2025
- visibility 27
- comment 0 komentar

Andinesia.com – Oleh: Awalil Rizky dari Institut Ekonomi Bright
Bank Indonesia menyebutkan bahwa mereka sudah memboyong Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 70,74 triliun dari awal tahun sampai tanggal 18 Maret 2025. Tindakan pembelian obligasi pemerintah tersebut diartikulasikan sebagai strategi dalam ranah kebijakan moneter yang mendukung pasar. Meski demikian, apa alasan dibaliknya, tampak jelas bahwa proporsi kepemilikan SBN oleh BI terus menggembur baik dilihat dari jumlah absolut maupun persentase keseluruhan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa pembelian Obligasi Negara (SBN) di pasar sekunder mencapaiRp 47,31 triliun serta pembelian SPN di pasar primer senilai Rp 23,43 triliun. Langkah ini dilakukan untuk membantu menstabilkan nilai tukar rupiah dan meraih target inflasi yang ditetapkan.
Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sudah terjadi cukup lama. Di penghujung tahun 2024, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan bersama yang mencantumkan kesepakatan bahwa BI akan melakukan pembelian SBN dari para pemain pasar serta melalui proses tukar-menukar SBN secara bilateral debt switch dengan Pemerintah.
Pembelian pada pasar perdana tak dapat dilaksanakan oleh BI sebelum ada regulasi hukum tahun 2020 yang berkaitan dengan pandemic Covid-19. Menurut aturan tersebut, justru BI dimintai untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana guna mendanai dampak dari pandemi ini serta dukungan dalam proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Pembelian maupun penjualan di pasar sekunder juga masih berlanjut seperti biasa.
Setelah masa aturan yang dibuat sesuai dengan situasi pandem selesai, peraturan terbaru dalam Undang-Undang Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) sudah disahkan. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia diperkenankan lagi untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Namun hal tersebut hanya boleh dilakukan jika ada keadaan darurat ekonomi serta obligatif memiliki jangka waktu panjang.
Akibat segera dari keputusan itu akan menjadi peningkatan jumlah saham milik Bank Indonesia pada Surat Berharga Negara dalam negeri yang dijual dan dibeli. Saat ini, kepemilikannya sudah tertulis sebagai yang tertinggi, yaitu senilai Rp 1.608,27 triliun hingga tanggal 20 Maret 2024 atau setelah 25,79 persen totalnya.
Sebagai perbandingan, kepemilikan BI terhadap SBN dalam negeri diakhir tahun 2019 mencapai Rp 273,21 triliun atau setara dengan 9,93%. Pada periode sebelum pandemic COVID-19 pada tahun 2020, proporsinya tetap berada antara 9%-10% selama tahun 2015 hingga 2019. Bahkan, beberapa tahun sebelum itu bahkan belum sampai 4%.
Keadaan finansial pemerintahan kini lebih tergantung pada keputusan Bank Indonsia (BI). Tanpanya, mencari pendanaan untuk menutupi defisit dalam Anggaran Negara akan jadi tugas yang amat rumit. Di samping itu, Surat Berharga Negara (SBN) tetap dimiliki dan dibeli kembali oleh beberapa entitas luar lainnya, sebagian besar dikarenakan dukungan tersirat dari BI.
Agar dapat mengenali situasi ini, penting untuk menganalisis laporan keuangan Bank Indonesia, lebih spesifik lagi bagian tentang transaksi moneternya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan. Jumlah keseluruhan transaksi moneter meningkat tajam di penghujung tahun 2020 mencapai angka Rp 694,01 triliun, naik dari jumlah di akhir tahun 2019 yaitu sekitar Rp 297,49 triliun.
Posisi neto tersebut bersifat mengabsorbsi atau absorb likuiditas ekonomi. Alat yang digunakan untuk penyerapan diantaranya adalah: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Deposito Berjangka Rupiah, Reverse
Repo SBN, dan Deposit Facility.
Saat yang sama, kepemilikan Bank Indonesia terhadap Surat Berharga Negara dalam negeri meningkat signifikan. Nilainya naik dariRp 273,21 triliun di penghujung tahun 2019 hingga mencapai Rp 874,88 triliun di penutupan tahun 2020.
Posisi operasi moneter Bank Indonesia berada di level Rp 881,27 triliun saat mencapai puncaknya di tahun 2021. Akan tetapi, angka ini turun menjadi Rp 742,93 triliun dan kemudian sedikit naik ke Rp 765,57 triliun menjelang akhir periode 2022 hingga 2023. Selanjutnya, posisinya kembali mengalami peningkatan signifikan menjadi sebesar Rp 945,56 triliun pada penghujung tahun 2024.
Pada saat yang sama, porsi milik Bank Indonesia di Surat Berharga Negara terus naik hingga penghujung tahun 2022. Meski sempat merosot sedikit menjelang akhir 2023, hal ini kembali melambung pada penutupan tahun 2024. Kepemilikannya masih bertambah hingga minggu ketiga Maret 2025, serta sudah memecahkan rekor untuk jumlah nominal kepemilikan tersebut.
Berdasarkan analisis itu, bisa disimpulkan bahwa salah satu asal-usul modal untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) berasal dari kegiatan monetisasi Bank Indonesia (BI). Sebenarnya, ini tampaknya menjadi penyumbang paling signifikan dalam periode 12 bulan terakhir.
Salah satu aspek yang patut untuk diamati adalah pergantian alat operasional moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia. Dimulai dari minggu kedua September 2023, Bank Indonesia memperkenalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). SRBI merujuk pada obligasi pemerintah jangka pendek milik BI dengan tenor selama 6, 9, dan 12 bulan.
Perlahan-lahan satu tahun sejak diluncurkan, SRBI berubah menjadi alat utama dalam kegiatan moneternya Bank Indonesia. Bagiannya tetap bertahan di angka sekitar 90 persen dari keseluruhan sampai hari ini. Perlu dicatat, SRBI mempunyainya underlying Kepemilikan BI terhadap SBN, sementara kira-kira 25 persen dipegang oleh investor asing Rata-rata yield
SRBI memiliki suku bunga yang lebih tinggi daripada SBN dan juga SPN, yaitu surat perbendaharaan negara jangka pendek. Dalam pandangan umum, transaksi ini membuat BI merugi karena harus membayar bunga yang lebih besar pada penerbit SRBI dibandingkan dengan bunganya saat membeli SBN. Jika pembelian SRBI dilakukan oleh investor asing, maka hal tersebut akan dicatat sebagai hutang luar negeri bagi Bank Indonesia.
Tentu bisa diungkapkan bahwa salah satu tugas dari Bank Indonesia (BI) adalah untuk memastikan kestabilan pasar surat berharga negara (SUN). Jika tidak ada partisipasi aktif dari BI, dapat terjadi ketidakpastian yang menyebabkan fluktuasi besar pada pasar sekunder obligasi pemerintah volatile
). Ketidakstabilannya bisa menghasilkan pemotongan harga atau kenaikan yield Yang “sangat liar”, akan mempengaruhi seluruh indikator moneter dan keuangan.
Pemikiran dasar itu dapat dipahami, tetapi kepemilikan BI telah mencapai jumlah yang cukup besar. Pengurangan harus dilakukan secara bertahap, setidaknya dari segi proporsinya sebelum mengubah nilainya. Dari sudut pandang teknis, proses ini akan berjalan dengan sendirinya jika SBN yang jatuh tempo dan dibayarkan oleh pemerintah tidak diinvestasikan kembali ke SBN baru.
Porsi yang signifikan saat ini serta peningkatan berkelanjutan hingga tahun 2025 menciptakan ancaman semakin membesar. Dengan demikian memberi dampak luas kepada situasi di bidang keuangan dan monetari, dengan fokus spesifik pada bank-bank menghadapi kesulitan dalam hal pengumpulan dana. Lebih jauh lagi, hal tersebut mendorong ketidakrelaan mereka untuk menyediakan pinjaman tambahan bagi sektor nyata atau ekonomi riil.
- Penulis: andinesia
Saat ini belum ada komentar