Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » economic policy » Biaya Impor: Apa yang Perlu Anda Ketahui

Biaya Impor: Apa yang Perlu Anda Ketahui

  • calendar_month Sab, 12 Apr 2025
  • visibility 19
  • comment 0 komentar


Oleh: Rahmat Muhammad


Kepala Program Studi Doktor Sosiologi Universitas Hasanuddin



– Setelah liburan Idulfitri, kondisi ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh keputusan Amerika Serikat yang diluncurkan oleh Presiden Donald Trump mengenai peningkatan tariff perdagangan bagi berbagai barang dari negara lain. Kebijakan ini menarik perhatian dan pembicaraan luas di kalangan masyarakat global.

Salah satu negara yang merasakan dampaknya adalah Indonesia, di mana beberapa produk mengalami kenaikan tarif mencapai 32 persen.

Ini melebihi sekedar kebijakan ekonomi; ini adalah indikator ketimpangan hubungan kekuasaan global dimana negara-negara di Selatan Global masih berada dalam kedudukan inferior dibandingkan dengan imperatif ekonomi-politik negara adidaya tersebut.

Dari sudut pandang Sosiologi Politik, kebijakan tersebut bisa dipandang sebagai wujud dominasi struktural yang dilaksanakan lewat sistem ekonomi global.

Sesuai dengan pendapat Immanuel Wallerstein pada teori sistem dunia yang mempartisikan menjadi sentral, setengah peripheri, dan peripheral.

Indonesia, sebagaimana merupakan bagian dari wilayah setengah periferik, memiliki kedudukan yang bercampur-aduk: sudah cukup maju untuk ikut serta dalam perekonomian global tetapi belum mencapai kekuatan yang cukup guna memastikan ketentuan perdagangan yang lebih adil.

Biaya ini tidak hanya mempengaruhi keseimbangan perdagangan, melainkan juga menggambarkan perubahan dominasi pasca-baru-baru ini.

Amerika Serikat tak sekadar bertanding di bidang ekonomi, namun juga berupaya menjaga kedudukan sebagai kekuatan penguasa global seperti yang dinyatakan oleh Gramsci. Dominasi ini bukan cuma soal paksaan saja, tapi juga menciptakan kesepakatan atau persetujuan dari negara-negara lain.

Dalam hal ini, negara-negara sedang mengembangkan seringkali dihadapkan pada keadaan dimana mereka harus menyetujui peraturan internasional yang sebenarnya tidak menguntungkan bagi mereka sendiri. Hal tersebut dilakukan atas nama kolaborasi serta pembukaan pasar.

Dalam perspektif analisis tentang Sistem Ekonomi Indonesia (SEI), pihak pemerintahan mencoba merespons hal tersebut dengan memberikan konsepsi terhadap barang-barang dari Amerika Serikat (AS). Tindakan ini seolah menjadi taktik politis guna mencegah peningkatan ketegangan.

Akan tetapi, di sisi lain, tindakan tersebut menunjukkan batas kemampuan suatu negeri untuk menjaga kedaulatannya ketika berhadapan dengan tekanan ekonomi-politis global.

Pemerintah tidak dapat secara total membuat keputusan hanya berdasar pada kesejahteraan warganya; sebaliknya, mereka perlu menyesuaikan diri dengan kerangka global yang diatur oleh pihak-pihak utama dunia.

Dampak dari Kebijakan Tarif Impor ini bukan saja dirasakan di tingkat makro, namun juga mencapai aspek Mikro dalam kehidupan sosial masyarakat.

Sektor padat karya yang berorientasi ekspor seperti tekstil, furniture, dan agrikulture berpotensi terguncang.

Dalam Sosiologi hal ini berarti terjadi disorganisasi sosial, di mana struktur keseharian masyarakat pekerja mengalami ketidakstabilan akibat intervensi eksternal yang jauh dari kendali mereka.

Tarif sebesar 32 persen tersebut mengindikasikan bahwa pasar global tidak hanya ruang netral, tetapi lebih merupakan medan perperangan kekuatan.

Negara-negara seperti Indonesia harus mengembangkan kemampuan ketahanan struktural, tidak hanya berupa perlindungan ekonomi, namun juga dengan meningkatkan kedudukan negosiasi politik lewat kerja sama regional serta perbaikan regulasi perdagangan internasional.

Oleh karena itu, kebijakan tariff ini tidak boleh diartikan hanya sebatas masalah ekonomi, tetapi juga sebagai bentuk pereproduksian ketidakseimbangan global yang berkelanjutan.

Data terkini di tengah masyarakat Indonesia pada awal April 2025 mengungkapkan bahwa nilai tukar rupiah sedang lesu sementara harga emas naik drastis. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dengan nada santai, bahkan dia lebih memilih untuk melakukan silaturahmi setelah Idul Fitri daripada memberi perhatian serius kepada masalah ekonomi tersebut.

Sebaliknya, Presiden Prabowo Subianto merasa cemas akan hal ini. Ia berharap bahwa lewat Sarasehan Ekonomi yang bakal digelar pada 8 April 2025 di Jakarta, para pemangku kepentingan seperti pelaku ekonomi, pebisnis, serta investor bisa mencegah masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan Berbasis Bukti (Evidence-Based). Pendekatan ini menuntut untuk membuat keputusan politik berdasarkan data-data ilmiah yang solid dan tepat guna, daripada sekadar bergantung pada instingtif pribadi atau opini umum tanpa dasar. Semoga saja harapan itu terwujud.(*)
ValueHandling

  • Penulis: andinesia

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

expand_less