Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » culture » Gaya Komunikasi Gen Z: Campuran Unik Pop Culture dan Media Sosial

Gaya Komunikasi Gen Z: Campuran Unik Pop Culture dan Media Sosial

  • calendar_month Sab, 12 Apr 2025
  • visibility 6
  • comment 0 komentar


Oleh: Dr Qudratullah MSos


Dosen Institut Agama Islam Negeri Bone



– Sosial media sudah menjelma sebagai lingkungan utama bagi Generasi Z untuk bertukar informasi dan menyuarakan identitas mereka.

Tidak seperti generasi sebelumnya, mereka cenderung berkomunikasi secara lebih visual, cepat, dan interaktif, hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya populer yang semakin berkembang.

Dalam opini ini, kita akan membahas bagaimana pop culture membentuk cara Gen Z berkomunikasi di media sosial dan bagaimana fenomena ini berdampak pada kehidupan sosial serta dinamika komunikasi digital.

Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 (Pew Research Center, 2019), tumbuh dalam era digital yang sangat dipengaruhi oleh pop culture.

Mereka memperoleh hiburan dari sejumlah platform semacam TikTok, Instagram, serta YouTube tempat kebudayaan pop global tersebar secara pesat.

Dari tantangan tarian, meme, hingga jargon unik seperti “rizz” dan “based,” cara berkomunikasinya cukup terpengaruh oleh hal-hal tersebut. Budaya pop tidak sekadar sebagai sumber hiburan untuk Generasi Z, melainkan juga turut menciptakan identitas sosial mereka.

Mereka menggunakan referensi budaya populer dalam percakapan sehari-hari, baik dalam bentuk GIF, emoji, atau bahkan format komunikasi seperti voice notes dan video pendek (Boyd, 2014).

Komunikasi jenis ini umumnya lebih dinamis bila dibandingkan dengan pendekatan generasi terdahulu yang cenderung memilih teks panjang atau interaksi lisan secara langsung.

Generasi Z cenderung lebih menyukai komunikasi lewat bentuk visual seperti meme, video singkat, serta foto. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Common Sense Media pada tahun 2022, sebanyak 75% dari pemuda ini memiliki kecendrungan untuk mengutarakan dirinya menggunakan sarana gambar atau video daripada tulisan terstruktur.

Layanan seperti TikTok dan Instagram Reels sering kali digunakan sebagai wadah utama bagi mereka untuk membagikan kisah serta pemikiran.

Di samping itu, mereka juga rajin menggunakannya emotikon, animasi GIF, serta penyaringan konten untuk melengkapi interaksi mereka.

Pada kasus ini, Gen Z cenderung mengandalkan simbol serta ekspresi non-verbal dalam berkomunikasi daripada menggunakan teks yang terlalu panjang (McCrindle & Fell, 2021).

Ciri khas lain dari komunikasi Generasi Z terletak pada pemakaian kata-kata yang pendek dan banyak menggunakan akronim, misalnya “LOL” (ketawa keras), “FOMO” (takut tertinggal), atau “GOAT” (yang terbaik sepanjang masa).

Mereka pun kerap menerapkan bahasa gaul yang selalu berubah, sehingga membuat generasi senior kesulitan memahaminya.

Berdasarkan data dari Pew Research Center (2021), generasi Z biasanya menghabiskan waktu lebih dari tiga jam sehari untuk berada di platform-media sosial, menikmati interaksi yang kilat dan tanpa persyaratan persiapan.

Mereka merasa lebih terbiasa dengan bentuk komunikasi yang instan, misalnya melalui fungsi komen langsung pada Instagram Live ataupun lewat obrolan di Twitter Spaces.

Generasi Z tidak hanya penikmat konten melainkan juga pembuat yang gigih. Mereka kerap kali berpartisipasi dalam fenomena viral, menghasilkan materi asli mereka sendiri, serta mendirikan komunitas di dunia maya.

Phenomenon seperti kolaborasi “duet” di TikTok atau pemanfaatan hashtag untuk gerakan sosial menggambarkan cara mereka memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk terlibat dalam diskusi dunia.

Berdasarkan Jenkins (2006), model budaya partisipatif semacam itu memberi kesempatan kepada pemuda agar merasa lebih diakui dalam lingkungan sosial mereka. Melalui berbagai platform digital, mereka dapat mengemukakan pandangan pribadi, mendirikan kampanye sosial, serta ikut menentukan arah kebijakan politik.

Dengan menggunakan media sosial, Generasi Z bisa bersentuhan dan bertukar pikiran dengan orang-orang lain di seluruh penjuru bumi yang punya ketertarikan sama.

Mereka bisa mengejar perkembangan dunia secara instan dan terhubung dengan kelompok internasional. Hal ini meluaskan pandangan mereka serta mendorong pertukaran budaya pop tanpa hambatan perbatasan.

Pop culture juga mengubah cara Gen Z menyerap informasi. Mereka lebih menyukai format pembelajaran yang interaktif dan berbasis audiovisual.

Menurut sebuah studi oleh Harvard Business Review (2022), metode pembelajaran berbasis video memiliki tingkat retensi yang lebih tinggi di kalangan Gen Z dibandingkan dengan teks akademik tradisional.

Di samping itu, Generasi Z kecenderungan lebih teliti saat menyeleksi berbagai sumber informasi. Mereka condong untuk mengandalkan materi yang dibagikan oleh orang-orang yang dianggap otentik bagi mereka, misalnya saja para pembicara terkemuka atau tokoh masyarakat yang visinya sejalan dengan milik mereka sendiri (Abidin, 2021).


Dampak Budaya Pop pada Cara Berkomunikasi Generasi Z

Pop culture memiliki pengaruh besar terhadap gaya komunikasi Gen Z di media sosial.

Dengan pendekatan yang lebih visual, singkat, dan partisipatif, mereka telah mengubah cara berkomunikasi di era digital.

Walau menghadapi hambatan pada interaksi lintas usia, manfaat positif dari metode berkomunikasi tersebut tetap signifikan, khususnya dalam merancang hubungan dunia dan meningkatkan kecepatan distribusi data.

Sebagai warga masyarakat, sangatlah vital bagi kami untuk mengerti serta menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut, khususnya di sektor pendidikan, usaha, dan interaksi sosial.

Dengan mengerti cara Gen Z berinteraksi, kita bisa lebih berhasil saat mencoba menyentuh mereka dan membuat saluran komunikasi yang lebih ramah dan responsif terhadap perubahan zaman.

Gaya budaya populer sudah jadi unsur penting bagi Generasi Z, mengubah bagaimana mereka bersosialisasi, bertegur sapa, serta menyampaikan identitasnya pada zaman serba online.

Sebagai anak muda yang hadir di tengah kemajuan cepat teknologi, Generasi Z banyak mengalami dampak dari aneka ragam budaya pop yang tersebar lewat platform-platform media sosial semacam TikTok, Instagram, Twitter, serta YouTube.

Artis yang berasal dari industri hiburan, mode, permainan, dan bahkan influencer di media sosial dengan langsung ikut menentukan cara berkomunikasi mereka, entah itu dalam konteks resmi atau tidak resmi.

Salah satu efek besar dari budaya pop pada cara berkomunikasi Gen Z adalah penggunaan bahasa yang cenderung lebih informal dan singkat. Mereka familiar dengan ungkapan-ungkapan gaul yang berasal dari internet, misalnya “vibes,” “simp,” “slay,” serta “rizz”.

Istilah-istilah baru tersebut umumnya berawal dari kecenderungan global yang terlihat di film, musik, atau platform media sosial sebelum tersebar pesat lewat meme dan pertukaran daring.

Metode berkomunikasi ini menggambarkan jati diri serta kekhasan mereka, sambil turut membentuk rasa persatuan kelompok di lingkungan maya.(* )

  • Penulis: andinesia

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

expand_less