Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » geology » Gede: Gunung Berapi Stratovolcano dengan Risiko Letusan Tinggi

Gede: Gunung Berapi Stratovolcano dengan Risiko Letusan Tinggi

  • calendar_month Sen, 14 Apr 2025
  • visibility 4
  • comment 0 komentar

Pada 1 dan 2 April 2025, diberitakan adanya tanda-tanda kenaikan aktivitas seismik di Gunung Gede. Berdasarkan catatan dari Badan Geologi, terdapat total 49 insiden gempa vulkanik yang berlangsung pada tanggal 1 April 2025.

“Kegiatan gempa lima hari terakhir berangsur mereda, dengan hanya beberapa gempa tektonik yang dicatat setiap harinya, sekitar 2 sampai 3 kali. Sampai detik ini, kita tidak menerima informasi mengenai adanya aktivitas gempa vulkanik di area Gunung Gede,” jelas Agus Deni, juru bicara dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Antara

.

Berdasarkan data, terdapat aktivitas magma atau cairan Vulkanik di bawah tanah Gunung tersebut. Akan tetapi, jumlah gempa tektonik mengalami penurunan yang cukup besar mulai tanggal 2 April 2025.

Walau ada penurangan, Badan Geologi tetap melanjutkan pantauannya dengan cermat pada gunung berapi tersebut lewat cara visual maupun instrumen demi menangkap tiap perubahan yang bisa saja timbul. Variasi kegiatan gempa bumi ini mencirikan dinamika dalam gunung yang rumit serta butuh pengawasan ekstra ketat.

Mulai tanggal 2 April 2025, sejumlah laporan yang berasal dari Badan Geologi serta media massa menyediakan pembaruan tentang kondisi Gunung Gede. Menghadapi meningkatnya kegiatan gunung berapi tersebut, pihak lokal merentangkan periode penutupan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Penutupan yang sebelumnya berlaku sampai 3 April diperbaharui menjadi hingga 7 April 2025 dan seterusnya.
diperbarui lagi hingga tanggal 13 April 2025
Keputusan tersebut diambil lantaran terjadi peningkatan aktivitas gempa vulkanik internal, menandakan adanya penguatan tekanan di dasar Gunung. Hal itu dapat memancing letusan freatik serta pembebasan gas berbahaya dari dalam kawah.

Antara tanggal 1 dan 3 April 2025, Badan Geologi mencatat total 47 gempa vulkanik dalam. Selain itu, teramati ada emisi asap dari Kawah Wadon dengan ketinggian mencapai 100 meter.

Meskipun terjadi peningkatan aktivitas, status aktivitas vulkanik Gunung Gede tetap berada pada Level I (Normal) hingga tanggal 6 April 2025. Perpanjangan penutupan taman nasional meskipun status

alert

masih normal menunjukkan kehati-hatian pihak berwenang terhadap potensi bahaya yang mungkin timbul.

Selain itu, pelepasan gas-gas vulkanik beracun, khususnya di sekitar Kawah Wadon, juga menjadi perhatian utama. Sebagai langkah pencegahan, zona eksklusi dengan radius 600 meter dari Kawah Wadon tetap diberlakukan untuk menghindari potensi bahaya tersebut.


Klasifikasi Gunung Gede

Gunung Gede terbentuk jutaan tahun lalu, dengan aktivitas vulkanik yang tercatat sejak abad ke-16. Kawasan ini juga menjadi pusat penelitian botani sejak zaman kolonial Belanda, ditandai dengan penetapan Cagar Alam Cibodas pada tahun 1889.

Gunung Gede terdapat di naskah Sunda lama.
Bujangga Manik
Pada masa itu, pada abad ke-15, dikenal juga dengan nama “Bukit Ageung” yang merupakan titik paling tinggi di wilayah Pakuan. Tempat ini memiliki peranan signifikan sebagai pusat spiritual dan berarti besar dalam budaya Sunda.

Untuk para pendaki dan peneliti, Gunung Gede memiliki sejumlah atraksi menarik di antara lain Alun-alun Suryakencana, Kawah Ratu, Kawah Lanang, Kawah Wadon, Air Terjun Cibeureum, serta Telaga Warna.

Gunung Gede dikenal karena kekayaannya dalam hal ekosistem, termasuk hutan-hutan hujan tropisnya serta tanaman langka seperti bunga edelweiss dan satwa lokal seperti lutung Jawa. Beberapa jalur pendakiannya yang populer adalah Cibodas, Gunung Putri, dan Selabintana; setiap rute memberikan pengalaman tersendiri beserta panorama indahnya.

Dari sudut pandang geologi, Gunung Gede termasuk dalam kategori stratovolcano atau disebut juga dengan gunung berapi tipe komposisi campuran. Lokasi gunung ini menjadi sebagian dari busur vulkanik Sunda, yang telah tercipta karena proses subduksi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.

Gunung Gede menyusun sebuah area vulkanik ganda bersamaan dengan Gunung Pangrango yang lokasinya tak jauh dari sana di sebelah barat daya dan utara.

Gunung berapi stratavolcano dikenal karena memiliki bentuk kerucut tajam, dihasilkan dari alternasi antara lapisan-lapisan lavanya, abu gunung api, serta bahan-bahan volkanik lainnya. Jenis pegunungan ini umumnya dikaitkan dengan erupsinya yang eksplisit disebabkan oleh magma yang kental menjerat gas sehingga memicu peningkatan tekanan.

Walaupun memiliki potensi untuk meletus dengan kekuatan besar seperti erupsi eksplosif, stratovulkan juga bisa mengalami letusan efusif yang menciptakan alirannya lava, serta aktivitas panas hydrothermal yang memicu pelepasan uap dan gas.

Gunung Gede menampilkan tujuh puncak dengan kawah unik yaitu Baru, Gumuruh, Lanangan, Kawah Leutik, Ratu, Sela, serta Wadon. Hal tersebut mencerminkan adanya dinamika aktifitas Vulkanik yang rumit bisa jadi akan terus berkembang di masa depan. Penting bagi kita mempelajari hal ini agar dapat lebih siap dalam menghadapi ancaman alam dari Gunung Gede.

Studi dari

Bencana Alam dan Ilmu Bumi Sistem

Pada awal tahun 2025 disebutkan bahwa Gunung Gede masuk dalam daftar gunung berapi di mana jumlah penduduk kota yang terkena dampaknya adalah salah satu yang tertinggi dalam area sejauh 100 kilometer, termasuk semua warga Jakarta yang mengalaminya. Analisis ini juga menunjukkan bahwa Bandung memiliki lebih dari delapan juta jiwa yang berisiko karena dekat dengan tiga belah tujuh gunung berapi, antara lain Gunung Gede, dan letaknya hanya dalam rentang 30 kilometer.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa Gunung Gede bukan hanya penting secara geologis, tetapi juga menjadi fokus utama dalam manajemen risiko bencana vulkanik di Indonesia karena dampak potensialnya terhadap populasi urban.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jenkins dan kawan-kawannya pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Gunung Gede-Pangrango merupakan salah satu gunung berapi dengan tingkat eksposur tertinggi di wilayah Asia Tenggara.


Riwayat Erupsi Gunung Gede

Rekam jejak letusannya Gunung Gede telah dicatat mulai tahun 1747 sampai kejadian terakhir yang didokumentasikan pada tanggal 13 Maret 1957, dengan selang waktu antara satu hingga tujuh puluh satu tahun. Pada akhirnya meletus di tahun tersebut sesudah mendengar getaran dari dalam gunung, kemudian memuntahkan tiang asap berisi debu tingginya tiga kilometer serta memiliki Skor Aktivitas Eruption Volcanic Index (VAI) dua.

Erupsi lain yang tercatat
termasuk juga pada tahun 1956 dan 1955 (

freatik

atau letusan uap air), 1948-49, 1947-48 (

freatik

), 1909, 1899, 1891, 1888, 1887, 1886, 1870, 1866, 1853, 1852, 1848, 1847, 1845, 1843, 1840 (paling besar, menciptakan arus

piroklastik

atau material abu gunung berapi, tahun 1832, 1761, serta 1747-48.

Mayoritas letusan itu termasuk dalam kategori kecil sampai menengah, dengan Indeks Aktivitas Erupsional (VAI) yang direkam, misalnya letusan pada tahun 1957 ber-VEI 2, sementara letusan di tahun 1840 dan 1832 mempunyai skor VAI sebesar 3.

Pada tanggal 29 Agustus 1832, setelah berhenti selama 71 tahun, sebuah kolom erupsi gunung api yang amat tinggi dapat diamati dari kota Bogor. Sekitar pukul sebelas dan dua belas siang, turunlah hujan debu tebal yang mengarah ke barat; sedangkan lapisan tipis abunya bisa dilihat sampai di Jakarta.

Erupsian pada tahun 1840 merupakan yang paling besar menghasilkan arus lava tersebut.

piroklastik

Pada waktu tersebut, timbul ledakan hebat yang berbunyi bergemuruh sekitar pukul 06:00 WIB, disertai kolom erupsi mencapai ketinggian 200 meter dari pucuk gunung. Erupsinya tercatat pada tanggal 11 Desember jam 14:00 WIB dan ditandai dengan turunnya hujan debu.

Angka VEI tersebut menyatakan bahwa walaupun mayoritas letusannya cukup kecil, Gunung Gede tetap dapat memproduksi erupsi eksplisit berukuran sedang, contohnya seperti yang tercatat pada tahun 1840 dan 1832.

Warsa 1843, abu turun di wilayah Cianjur serta Cicurung, Sukabumi. Erupsinya cukup ringan dimulai menjelang tengah malam di bulan Juli. Bulan-bulan berikutnya ada laporan tentang guncangan kuat yang dialami oleh Cianjur pada tanggal 15 Februari 1844.

Gempa berkekuatan 5.6 itu mengakibatkan kerusakan parah. Diperkirakan aktivitas gunungapi di Gunung Gede serta gerakan geser dari Sesar Cimandiri adalah faktor utama yang membuat banyak struktur hancur saat guncangan terjadi.

Bukan saja menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, hal ini juga mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk membuat keputusan penting: mentransfer lokasi Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung.

Dalam buku

Sejarah Kota Bandung 1945–1979

(1985:30) Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud mengeluarkan instruksi untuk melakukan pemindahan itu pada tahun 1856, namun upacara peletakan batu pertama dilaksanakan secara resmi pada tahun 1864 oleh Residen Priangan, Van der Moore.

Pada tanggal 12 November 1854, Gunung Gede bangkit lagi dari tidurnya sekitar jam tiga pagi. Ada erupsi bersama dengan guncangan kuat dan suara bergemuruh; air menyembur keluar sampai 50 meter di atas kawah bisa diamati. Kolom letusan tinggi mengiringi batu-batu gunung berapi yang dilepaskan, sementara debu menyebar hingga ke arah Bogor.

Abu hujan menyebar sejauh 14 kilometer pada tanggal 14 November 1854. Delapan hari setelahnya, terjadilah gempa bumi dan tiang erupsi yang mengandung pelemparan material batuan, esok harinya area di atas gunung tampak seperti dilalap api.

Pencatatan mengenai erupsi terakhir berlangsung di Kawah Ratu mulanya pada tanggal 13 Maret 1957. Saat itu, tiang api merambati hingga ke ketinggian 3.000 meter lebih tinggi dari dasar kawah dan proses ini dimulai setelah jam tujuh petang.

Di luar letusan, juga dicatat adanya kenaikan dalam kegiatan gempa bumi yang tidak disertai dengan erupsi, seperti

swarm

Gempabumi yang terjadi pada tahun 1991 tersebut
.

Kejadian tersebut berulang lagi pada tahun 1998, mengindikasikan adanya masa meningkatnya kegiatan Vulkanik di zona bawah permukaan Gunung.

Selain itu, pergerakan ventilasi aktif juga tercatat seiring waktu. Keberadaan tujuh kawah puncak juga menunjukkan sistem internal yang kompleks.


Swarm

gempa bumi yang berulang mengindikasikan bahwa Gunung Gede mengalami periode ketidakstabilan internal yang tidak selalu berakhir dengan erupsi.

  • Penulis: andinesia

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

expand_less