Mengeksplor Rezim Hibrida dalam Dinamika Politik Indonesia
- calendar_month Ming, 6 Apr 2025
- visibility 44
- comment 0 komentar

Teks Diamond (2002) terkait dengan “rezim hibrida” atau “rezim gabungan” sangat sesuai untuk mendeskripsikan situasi politik Indonesia selama dua periode kepemimpinan sebelumnya. Pendapat utamanya berdasarkan kutipan dari Carothers (2002), menyatakan bahwa tidak setiap negara yang melewati “gelombang ketiga” transisi demokratis pada dekade ’90 berhasil menetapkan dirinya sebagai sebuah “demokrasi lengkap”. Beberapa negara hanya stagnan dan bahkan mencampuradukkan sistem demokratik dan otoritarian dalam satu waktu. Terdapat juga beberapa kasus dimana mereka kembali ke tahapan lebih awal dalam perjalanan ini.
Enam jenis sistem pemerintahan dikemukakan oleh Diamond berdasarkan pendapat para ahli politik lainnya seperti disebutkan dalam teks tersebut. Sistem-sistem ini meliputi: “demokrasi liberal, demokrasi pemilihan, sistem samar, otoritarian bersaing, otoritarian dengan pemilu tunggal, serta otoritarian tanpa partisipasi politik terbuka”.
Dengan bersandar pada penilaian Freedom House Pada tahun 2001, Diamond menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori “Rezim Tidak Jelas” dengan peringkat indeks demokrasinya sebesar 3,4 pada sebuah skala yang berkisar dari 1 untuk sistem terbuka hingga 7 untuk sistem tertutup. Menurutnya saat itu, Indonesia berlokasi di area antara jenis pemerintahan “Kompetisi Otoriter” dan “Demokrasi Berbasis Pemilihan”.
“Kompetitif Otoriter” mengindikasikan bahwa pemilihan umum berlangsung dalam persaingan namun tetap memiliki kendali serta tipu muslihat dari para petinggi. Sedangkan “Elektoral Demokrasi” mewakili fakta bahwa hak-hak kemerdekaan rakyat hanya terpenuhi secara prosedural tanpa substansi yang nyata.
- [Foto] Gambar Pilihan Minggu Ini, Aksi Demonstrasi Menentang UU Tentara Nasional Indonesia di Berbagai Wilayah
- Penggemar JKT48 Bergabung dalam Demonstrasi Melawan RUU Tentang TNI di Depan gedung DPR
- Rancangan Perubahan Undang-Undang Tentang TNI Dipersepsikan Menguatkan Kepraktisan Militerisasi di Area Publik serta Siber
“Rezim Ambigu” terletak di tengah kedua hal tersebut karena sisa-sisa otoriterisme masih bertahan dan pemilu belum menciptakan kebebasan yang signifikan. Hambatan atas hak untuk menyampaikan pendapat dan ketidakpastian serta kemiskinan belum benar-benar lenyap. Pertanyaannya adalah: Apakah Indonesia saat ini tetap termasuk dalam klasifikasi “Rezim Ambigu” dan belum mampu keluar darinya?
Berdasarkan analisis Diamond tersebut, meskipun ia telah menguraikan ciri-cirinya, situasi kita belum membaik. Otoritarisme masih sangat umum dan pemilihan umum hanya seolah-olah penting. Adegan politik tetap dipenuhi oleh negosiasi antar elit tanpa ada penentangan nyata dalam lembaga legislatif. Berkali-kali suara publik disepelekan bahkan ditindas dan disensor. Jika pola penguasaan seperti itu terus berlanjut, bisa-bisa proses peralihan menuju demokrasi di Indonesia akan mundur daripada kemajuan. Kita mungkin sudah keluar dari “Zaman Pemerintahan Samawi” untuk masuk ke era baru yang lebih otoriter namun bersaing atau “Despotisme Berdayaan”.
Karena ciri khas dari sistem terdahulu masih melekat pada politik kita saat ini. Pemilihan umum hanya menjadi acara periodik sementara pemerintah sudah memperkokoh kedudukannya menggunakan instrumen negara. Sistem ini tetap mencoba meredam opositor dengan ancaman dan tekanan hingga mereka tidak memiliki daya tahan lagi. Ini termasuk juga upaya untuk membungkam potensi kekuatan warga negara yang bisa bangkit melawan.
Secara singkat, menurut Diamond, pemilihan umum hanyalah topeng untuk mengelakkan “tekanan baik dalam maupun luar negeri”. Wajar saja bila berbagai pihak mendeskripsikan “rezim campuran” ini sebagai ”
Pseudodemocracy ” atau “demokrasi palsu”.
Dari Kepolisian ke Komando Tentara Nasional
Dua periode lalu, kita sudah melihat bagaimana “Rezim Abu-abu” ini bekerja secara terbuka. Ketika Prabowo memasukkan perwira aktif militer ke dalam kabinetnya, hal itu membawa kenangan akan era pemerintahan Jokowi yang dipenuhi oleh aparatur kepolisan. Dalam sistem demokrasi liberal, TNI dan Polri merupakan badan defensif dan keamanan yang harus bersikap netral; campur tangan mereka dalam urusan politik bisa sangat merugikan.
Meskipun demikian, kedua pihak malah mengekspos perangkat itu dalam kerangka kekuasaannya masing-masing. Menggunakan satuan-satuan tersebut untuk mencapai tujuan politiknya. Padahal TNI dan Polri tidak boleh diposisikan di lembaga-lembaga sipil sebelum mereka pensiun atau berhenti dari tugas.
Partisipasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri dalam posisi pemerintah sipil dapat membawa risiko karena kedua institusi tersebut masih memiliki alat ‘pendam’ dan ‘penggunaan kekuatan’, yang melekat pada status mereka sebagai komponen utama pertahanan dan keamanan nasional. Keistiman semacam itu mungkin dimanfaatkan untuk menekan kritikan terhadap para petugas militer yang nantinya menempati jabatan-jabatan sipil.
Sesuai harapan, hukum menghalangi anggota TNI dan POLRI aktif terlibat dalam politik. Mereka tidak diberikan hak sufragium pada saat pemilihan umum sehingga dapat menekan potensi bias atau penyalahgunaan lembaga-lembaga ini demi tujuan-tujuan politik tertutup. Ini adalah prinsip utama dari pemerintahan sipil yang mendemokratisasi: kedua badan militer dan kepolisian wajib bersikap adil karena mereka telah dilengkapi dengan senjata secara resmi oleh negara. Alat-alat perusuh yang ada di tangan mereka sangatlah berbahayai apabila disalahgunakan oleh individu-individu tertentu hanya untuk maksud-maksud politik belaka.
Ingkar Janji Reformasi
Dalam dua periode kepemimpinan terdahulu sampai saat ini serta di masa lalu, kita melihat pergeseran menuju pola negara ‘polisi’ dan ‘militer’, yang bertujuan meningkatkan efektivitas hierarki dalam rangka pembangunan dan industrialisasi. Metode-metode penindasan pun mulai muncul. Kedua era tersebut menyalahi harapan-harap reformasi. Tujuan membentuk pemerintahan didasarkan pada supremasi sipil tidak lagi menjadi fokus.
good governance
Faktanya berada sangat jauh dari kesimpulan yang aman. Sebaliknya, secara bertahap namun pasti, Indonesia mulai terjerumus ke dalam arah otoriterism. Terakhir, pembaruan ‘Dwi Fungsi’ sudah resmi dikeluarkan melalui undangan. Kekhawatiran tentang kemungkinan bangkitnya lagi era Orde Baru sekarang tampak lebih mendalam dan nyata.
Perasaan itu telah terasa lama sebelumnya. Sejak para petinggi kepolisian banyak yang ikut serta dalam pemerintahan Jokowi. Selanjutnya adalah campur tangan TNI pada proyek nasional besar yang tidak berhasil, ” food estate “Ditindaklanjuti dengan kegiatan retret militer untuk para pejabat baru dan kepala daerah. Diakhiri dengan penugasan personel TNI aktif dalam posisi sipil belakangan ini. Kesemuanya menjadi indikator adanya proses serupa remilitarisasi dalam administrasi negara. Angkatan bersenjata, termasuk Polri, dilihat sebagai wujud dari nasionalisme serta patriotisme. Kedua lembaga tersebut diyakin memiliki kemampuan unggul dalam mengurus hal-hal sipil berkat jaringan perintah mereka serta sikap ‘
yes, man” mereka terhadap pimpinan.
Supremasi Sipil versus Militer
Akan tetapi, terdapat dua halangan penting mengenai dominasi militer atas kekuatan sipil itu.
Pertama Partisipasi TNI secara langsung dalam lembaga sipil dapat perlahan-lahan mengarahkan pemerintah ke arah militerisme serupa dengan junta. Ini karena kemungkinan adanya godaan terhadap kekuasaan yang lebih besar dapat meluas pada banyak anggota TNI. Kemudian, potensi kontrol atas semua aspek pemerintahan di masa mendatang semakin meningkat. Selain itu, penempatan anggota TNI aktif di posisi sipil ini memiliki risiko memicu konflik internal. Hal ini membuat mereka bersaing untuk mendekati kekuasaan, sehingga merubah prajurit menjadi individu-individu yang cenderung opportunistik dan praktis.
Lebih parah lagi, menyuarakan kritikan kepada instansi sipil yang dikendalikan oleh anggota militer dapat jadi malah mendapat respons dalam bentuk penekanan dengan menggunakan sarana militer yang masih melekat pada tokoh pilihan rakyat. Hal itu sungguh mengkhawatirkan lantaran biasanya kita percayai bahwa lembaga militer cukup tertutup terhadap pantauan publik secara maksimal. Akibatnya, hal tersebut bisa menciptakan ketidakefisienan instansi serta meningkatkan tingkat korupsinya. Selain itu, kondisi seperti ini juga membawa risiko dimana instansi-instansi sipil yang dikontrol oleh personel militer aktif berpotensi menjadikan diri mereka sebagai area potensial pertentangan kepentingan sehingga sangat mungkin timbul para otoritas tunggal atau oligarki baru berasal dari kalangan tentara. Korupsi besar-besaran pun tak mustahil bakal berkembang pesat di era kepemimpinan orang-orang militernya sendiri.
Kedua Mempertanyakan kemampuan sipil dan militer di birokrasi dapat menghancurkan koherensi sosial yang telah lama menjadi fondasi kekuatan persatuan Indonesia sebagai negara multietnis. Pengesampingan hak-hak warga sipil serta penekanan pada privilese militer pastinya akan menyulut protes publik yang semakin kuat. Hal tersebut nantinya bakal mencetus ketidakstabilan politik yang panjang, hal itu tentunya sangat merugikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Demonstrasi rakyat dengan jumlah yang meningkat setiap harinya juga bisa membahayai legitimasi pemerintahan sekarang. Terlebih lagi, masalah-masalah fundamental seperti pemecatan kerja skala besar dan permasalahan ekonomi lainnya belum sepenuhnya dilupakan oleh publik.
Oleh karena itu, menarik kembali tentara aktif ke barak mereka serta mencabut Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia dengan peraturan presiden pengganti adalah tindakan tepat supaya pemerintahan tak menjauhi tujuan reformasi. Kini, pemerintah wajib mengerti bahwa ‘orba’ atau Orde Baru bukannya contoh sukses dalam upaya melepaskan negeri kita dari jeratan korupsi seperti yang banyak diberitakan. Sebaliknya, era tersebut justru merujuk pada periode kelam bagi bangsa Indonesia.
- Penulis: andinesia
Saat ini belum ada komentar